Rabu, 13 Januari 2010

Barongsai Kesenian China



Kesenian Barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei, tahun 420-589 Masehi). Kala itu pasukan dari Raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah Raja Fan Yang dari negeri Lin Yi.


Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan Raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda. Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari China Selatan.

Di China, kesenian barongsai dikenal dengan nama lungwu, namun khusus untuk menyebut tarian singa. Tarian naga disebut shiwu dalam bahasa Mandarin. Sebutan barongsai bukan berasal dari China. Kemungkinan kata barong diambil dari bahasa Melayu yang mirip dengan konsep kesenian barong Jawa, sedangkan kata sai bermakna 'singa' dalam dialek Hokkian.

Naga (liong) bagi etnis China adalah binatang lambang kesuburan atau pembawa berkah. Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala singa, bertaring serigala dan bertanduk menjangan. Tubuhnya panjang seperti ular dengan sisik ikan, tetapi memiliki cakar mirip elang.

Sedangkan singa dalam masyarakat China merupakan simbol penolak bala. Maka tarian barongsai dianggap mendatangkan kebaikan, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan.

Tarian ini selalu digelar pada setiap pesta orang China, termasuk di Mal Ciputra dalam menyambut Imlek 2558.

Tarian barongsai dilengkapi replika naga (liong), singa, dan qilin (binatang bertanduk). Tetapi tidak semua perkumpulan memainkannya. Kebanyakan hanya topeng singa. Alasannya, tarian singa dianggap lebih mudah dan praktis dibawakan karena lokasi yang digunakan tidak perlu luas. Atraksi topeng singa hanya membutuhkan dua orang pemain.

Seni bela diri menjadi kunci permainan ini sehingga banyak pemainnya berasal dari perguruan kungfu atau wushu. Gerakannya berciri akrobatik, seperti salto, meloncat, atau berguling. Tarian barongsai biasanya diiringi musik tambur, gong, dan cimbal.

Untuk menampilkan liong, perlu tata krama tersendiri. Liong muncul saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh (malam ke-15 setelah Imlek). Biasanya didahului dengan upacara penyucian, dilanjutkan dengan upacara cuci mata di kelenteng. Sebelum pelaksanaan digelar, beberapa orang sudah melakukan latihan fisik untuk mengangkat liong yang panjangnya bisa mencapai ratusan meter.

Demikian pula, agar atraksi Barongsai menarik, perlu latihan khusus agar angpau yang diperebutkan tak jatuh kepada pihak lawan. (Liela)

Sumber dari http://id.wikipedia.org/wiki/Barongsai Selengkapnya...

Kue Keranjang



Kue Keranjang yang disebut juga sebagai Nian Gao (年糕) atau dalam dialek Hokkian Tii Kwee (甜棵), yang mendapat nama dari wadah cetaknya yang berbentuk keranjang, adalah kue yang terbuat dari tepung ketan dan gula, serta mempunyai tekstur yang kenyal dan lengket. Kue ini merupakan salah satu kue khas atau wajib perayaan tahun baru Imlek, walaupun tidak di Beijing pada suatu saat.



Kue keranjang mulai dipergunakan sebagai sesaji pada upacara sembahyang leluhur, enam hari menjelang Tahun Baru Imlek (Jie Sie Siang Ang), dan puncaknya pada malam menjelang Tahun Baru Imlek.

Kue keranjang yang dijadikan sesaji sembahyang ini, seperti dituturkan pakar feng shui Kang Hong Kian, biasanya dipertahankan tidak dimakan sampai Cap Go Meh (malam ke-15).

Di samping itu, berdasarkan mitos atau dongeng dewa yang paling mengetahui keadaan di rumah adalah Dewa Dapur "Zao Wang Ye" (Ciao Ong Ya dalam bahasa Hokkian). Sebab, segala macam gosip banyak disebarluaskan pada saat sedang mengobrol di dapur, atau juga dari makanan yang disajikan bisa diketahui keadaan keluarga tersebut apakah mereka keluarga mampu atau miskin.

Setahun sekali sang Dewa Dapur ini pulang mudik, cuti, untuk sekalian lapor ke surga (玉皇大帝,Yu Huang Da Di). Sang Dewa Dapur ini terkesan rewel dan cerewet. Untuk menghindari agar Dewa Dapur tidak memberikan laporan yang salah, maka mulutnya disumpal terlebih dahulu dengan Kue Keranjang. Tujuannya, agar mulutnya lengket dan akhirnya tidak bisa banyak bicara. Dan kalaupun bisa bicara, pasti hanya hal yang manis-manis saja. Begitulah cerita mengapa kue keranjang sangat lekat dengan perayaan tahun baru imlek. Kue keranjang dari tahun ke tahun semakin bervariasi. Kalau dulu hanya dikenal kue keranjang dibungkus daun pisang, maka kemudian, karena alasan praktis dan sulit mendapatkan daun pisang dalam jumlah banyak, digunakan plastik untuk membungkus dodol khas imlek ini.

Kemudian muncul kue keranjang dengan variasi rasa, mulai dari cokelat, pandan, dan strawberry. Meski banyak variasi kue keranjang, umumnya kue keranjang bungkus daun pisang tetap menjadi pilihan utama untuk kepentingan ritual sembahyang.

Di malam Imlek, orang-orang biasanya bersantap di rumah atau di restoran. Setelah selesai makan malam, mereka bergadang semalam suntuk dengan pintu rumah dibuka lebar-lebar agar rezeki bisa masuk ke rumah dengan leluasa.

Makanan yang sering disajikan menjelang imlek adalah ikan bandeng, sebab ikan ini melambangkan rezeki. Dalam logat Mandarin, kata "ikan" sama bunyinya dengan kata yu yang berarti 'sisa'. Seperti juga kata yu yang sering tercantum pada lukisan sembilan ikan. Di situ tercantum nian nian you yu yang berarti 'setiap tahun selalu ada (rezeki) sisa'.

Sajian khas Imlek lainnya adalah bakpao dan teripang berwarna cokelat yang rasanya kenyal-kenyal, di samping kepiting berukuran besar yang biasa dicari orang untuk membuat sup hisit.

Masakan berbahan dasar hewan laut agaknya memang telah menjadi tradisi menjelang Imlek dan biasanya acara makan malam diakhiri dengan menikmati buah-buahan seperti apel dan jeruk. Namun, yang lebih diutamakan adalah menyiapkan buah jeruk kuning, yang lazim disebut sebagai "jeruk emas" (jin ju).

Bahkan menjelang Imlek biasanya pohon jeruk dengan buah lebat, atau buah jeruk yang masih disertai beberapa helai daun, yang melambangkan bahwa kekayaan akan terus bertumbuh, banyak dijajakan di pusat-pusat perbelanjaan dan pasar-pasar di daerah pecinan. (Liela)

Sumber dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kue_Keranjang Selengkapnya...

Prinsip Kesenian China - Lukisan/Catan



Pengenalan di dalam catan landscap Cina kebanyakann menerangkan kepercayaan mereka bahwa manusia merupakan sebagian daripada alam. Cara pelukis Cina melukis catan mereka adalah


dengan mengembara ke seluruh pelosok alam ini adalah karena mereka mau menghayati dan merekamkan alam dengan penuh kejujuran. Penerapan disiplin yang tinggi semasa berkarya seperti penumpuan, kerajinan, kehormatan serta kemahiran dalam berkarya harus disemaikan oleh setiap pelukis Cina.

Prinsip-prinsip dalam menghasilkan Catan Cina terdapat beberapa prinsip yang harus diterapkan dalam menghasilkan catan Cina. Hsieh Ho telah menyenaraikan enam prinsip dalam menghasilkan sebuah catan. Antara prinsip-prinsip berikut adalah seperti Chi yun sheng tung- Getaran rohani atau perasaan pelukis, Ku Fa Yung Pi – Kaedah, tatacara, mutu dan nilai sapuan berus, Ying Mu Hsien Hsing- Pemahaman terhadap objek yang dilukis, Sui Lei Fu Tsai- Penggunaan warna yang bersesuaian, Ching Yin Wei Chin- Pembahagian komposisi dan peranan cahaya dan Ching Mu i Hsieh- Belajar melalui peniruan. Prinsip-prinsip inilah yang telah mengasaskan pengalaman ndan penikmatan catan Cina Sejas berabad-abad lamanya sehingga kini.

Perlambangan dan Falsafah dalam Catan Cina terdapat banyak perlambangan dan falsafah yang wujud dalam catan Cina seperti:

Shan – gunung, ch’i- atmosfera dan hsing – bentuk. Merupakan tiga unsur yang lazimnya ada pada sesebuah catan Cina.

Gunung – lambang kesuburan, keturunan, kekuatan, kesungguhan serta boleh mempengaruhi perasaan dan penghayatan seseorang melalui perubahan atmosfera.

Awan – awan cerah melambangkan keharmonian, awan gelap menimbulkan suasana kemuraman.

Pokok – Pokok besar seperti ru dan pine membawa maksud pasak bumi dan kedudukan mengikut hirarki. Pokok buluh melambangkan kekayaan, lanjut usia, kejujuran, kebenaran serta mampu menghalau hantu. Pokok orkid melambangkan musim luruh manakala pokok plum blossom melambangkan kecantikan dan lanjut usia.

Ikan – ‘Tui’ melambangkan pertambahan rezeki. Jika bewarna keemasan melambangkan status kaya, manakala hitam kehidupannya biasa sahaja. Ikan kelisa melambangkan kekayaan dan keuntungan.

Sungai- melambangkan kegembiraan dan keharmonian.

Falsafah disebalik menghasilkan Catan

Dalam menghasilkan Catan Cina, terdapat beberapa falsafah dalam penghasilannya seperti "melukis tanpa sombong "yang bermaksud, memperelokkan lagi hasil yang telah sempurna bagi mempertingkatkan mutu catan. Pelukis tidak harus cepat berpuas hati dan bangga dengan kerjanya. Falsafah seterusnya adalah ’tidak menghadapi kerja dengan lalai’ falsafah ini bermaksud sesorang haruslah bersedia dari segi rohani dan peralatan serta persekitaran sebelum melukis bagi mendapatkan kerja yang sempurna.

Format lukisan China diatas adalah sbb :

a. Handscroll

b.Hanging Scroll

c. Roller

d. Semi-circular wooden stave

e. Protective Wrapper

f. Title sheet

g.Inscription panel

h. End roll

i. Double-leaf album painting

j. Paired single-leaf album painting

k. Paired single-leaf album painting ‘butterfly’ mounting

l. Screen fan

m. Folding fan (Liela)

Sumber dari http://id.wikipedia.org/wiki/Prinsip_Kesenian_China_lukisan Selengkapnya...

Wayang Po Tay Hie (Potehi), Wayang China



Pertunjukan Wayang Potehi.

Wayang Potehi merupakan salah satu kesenian kebudayaan Tionghoa.

Sejarah

Wayang Po Tay Hie sendiri sebetulnya milik suku bangsa Hokkian. Wayang ini berasal dari distrik Quanzhou di Provinsi Fu Jian, yang kemudian dibawa oleh para imigran Cina ke Indonesia sekitar abad 16 hingga abad 19.


Ini tak lepas dari asal mula wayang ini. Konon Wayang Po Te Hie dimainkan pertama kali ketika Dinasti Tiu Ong berkuasa sekitar 3.000 tahun yang lalu.

Potehi berasal dari kata poo (kain), tay (kantung) dan hie (wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang jenis lain. Kesenian ini sudah berumur sekitar 3.000 tahun dan berasal dari daratan Cina asli.

Menurut legenda, seni wayang ini ditemukan oleh pesakitan di sebuah penjara. Lima orang dijatuhi hukuman mati. Empat orang langsung bersedih, tapi orang kelima punya ide cemerlang. Ketimbang bersedih menunggu ajal, lebih baik menghibur diri. Maka, lima orang ini mengambil perkakas yang ada di sel seperti panci dan piring dan mulai menabuhnya sebagai pengiring permainan wayang mereka. Bunyi sedap yang keluar dari tetabuhan darurat ini terdengar juga oleh kaisar, yang akhirnya memberi pengampunan.

Diperkirakan jenis kesenian ini sudah ada pada masa Dinasti Jin yaitu pada abad ke 3-5 Masehi dan berkembang pada Dinasti Song di abad 10-13 M. Wayang Potehi masuk ke Indonesia (dulu Nusantara) melalui orang-orang Tionghoa yang masuk ke Indonesia di sekitar abad 16 sampai 19. Bukan sekedar seni pertunjukan, Wayang Potehi bagi keturunan Tionghoa memiliki fungsi sosial serta ritual. Tidak berbeda dengan wayang-wayang lain di Indonesia.

Beberapa lakon yang biasa dibawakan dalam wayang potehi adalah Sie Jin Kwie, Hong Kiam Cun Ciu, Cun Hun Cauw Kok, dan Poei Sie Giok. Setiap wayang bisa dimainkan untuk pelbagai karakter, kecuali Bankong, Udi King, Sia Kao Kim, yang warna mukanya tidak bisa berubah.


Lakon

Dulunya Wayang Potehi hanya memainkan lakon-lakon yang berasal dari kisah klasik daratan China seperti kisah legenda dinasti-dinasti yang ada di China terutama jika dimainkan di dalam kelenteng. Akan tetapi saat ini Wayang Potehi sudah mengambil cerita-cerita di luar kisah klasik seperti legenda Kera Sakti yang tersohor itu. Pada masa masuknya pertama kali di Indonesia, wayang potehi dimainkan dalam bahasa Hokkian. Seiring dengan perkembangan zaman, wayang ini pun kemudian juga dimainkan dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu para penduduk pribumi pun bisa menikmati cerita yang dimainkan.

Menariknya, ternyata lakon-lakon yang kerap dimainkan dalam wayang ini sudah diadaptasi menjadi tokoh-tokoh di dalam ketoprak. Seperti misalnya tokoh Sie Jin Kwie yang diadopsi menjadi tokoh Joko Sudiro. Atau jika Anda penggemar berat ketoprak, mestinya tidak asing dengan tokoh Prabu Lisan Puro yang ternyata diambil dari tokoh Lie Sie Bien.

Pemain dan dalang wayang ini berada di dalam kotak berukuran sekitar 2×2 meter. Tiga orang memainkan alat musik dan dua orang bermain sebagai dalang. Cerita dimainkan selama kurang lebih 2 jam.

Alat musik Wayang Potehi terdiri atas gembreng, suling, gwik gim (gitar), rebab, tambur, terompet, dan bek to. Alat terakhir ini berbentuk silinder sepanjang 5 sentimeter, mirip kentongan kecil penjual bakmi, yang jika salah pukul tidak akan mengeluarkan bunyi "trok"-"trok" seperti seharusnya.


Perkembangan

Tahun 1970-an sampai tahun 1990-an bisa dikatakan masa suram bagi Wayang Potehi. Itu dikarenakan tindakan yang cenderung represif penguasa pada masa itu terhadap kebudayaan kebudayaan Tionghoa. Padahal nilai-nilai budaya yang dibawa serta oleh para keturunan Tionghoa sejak berabad-abad lalu telah tumbuh bersama budaya lokal dan menjadi budaya Indonesia. Dalam masa suram itu, wayang Potehi seolah mengalami pengerdilan. Sangat sulit menemukan pementasannya saat itu. Apalagi jika bukan karena sulitnya mendapat perizinan. Padahal jika diamati para penggiat Wayang Potehi sebagian besar adalah penduduk asli Indonesia. Bayangkan, betapa besar apresiasi mereka terhadap budaya yang bisa dikatakan bukan budaya asli Indonesia. Namun setelah orde reformasi berjalan, angin segar seolah menyelamatkan kesenian ini. Wayang Potehi bisa dipentaskan kembali dan tentu saja tidak dengan sembunyi-sembunyi. (Liela)

Sumber dari http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_Potehi Selengkapnya...

Festival Lampion dan Cap Go Meh



Festival lentera tahun tikus 2008 di Tainan, Taiwan

Festival Lampion

Festival Lampion (hanzi sederhana: 元宵节, hanzi tradisional: 元宵節, pinyin: yuanxiaojie) adalah festival dengan hiasan lentera yang dirayakan setiap tahunnya pada hari ke-15 bulan pertama


kalender Tionghoa yang menandai berakhirnya perayaan tahun baru Imlek. Festival ini biasanya dirayakan secara luas di Taiwan, Hongkong dan sebagian besar daerah di Cina. (Liela)


Cap Go Meh

Cap Go Meh melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Imlek bagi komunitas kaum migran Tionghoa yang tinggal di luar Cina. Istilah ini berasal dari dialek Hokkien dan secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama.

Saat itu juga merupakan bulan penuh pertama dalam Tahun Baru tersebut.
Perayaan ini dirayakan dengan jamuan besar dan berbagai kegiatan. Di Taiwan ia dirayakan sebagai Festival Lampion. Di Asia Tenggara ia dikenal sebagai hari Valentine Tionghoa, masa ketika wanita-wanita yang belum menikah berkumpul bersama dan melemparkan jeruk ke dalam laut - suatu adat yang berasal dari Penang, Malaysia. (Liela)

Sumber dari http://id.wikipedia.org/wiki/Lampion
Sumber dari http://id.wikipedia.org/wiki/Cap_Go_Meh Selengkapnya...

Kue Bulan



Kue bulan tradisional

Kue bulan (Hanzi: 月餅, pinyin: yuèbǐng) adalah penganan tradisional Tionghoa yang menjadi sajian wajib pada perayaan Festival Musim Gugur setiap tahunnya. Di Indonesia, kue bulan


biasanya dikenal dalam dialek Hokkian-nya, gwee pia atau tiong chiu pia.

Kue bulan tradisional pada dasarnya berbentuk bulat, melambangkan kebulatan dan keutuhan. Namun seiring perkembangan zaman, bentuk-bentuk lainnya muncul menambah variasi dalam komersialisasi kue bulan.

Asal mula

Kue bulan bermula dari penganan sesajian pada persembahan dan penghormatan pada leluhur di musim gugur, yang biasanya merupakan masa panen yang dianggap penting dalam kebudayaan Tionghoa yang berbasis agrikultural.

Perkembangan zaman menjadikan kue bulan berevolusi dari sesajian khusus pertengahan musim gugur kepada penganan dan hadiah namun tetap terkait pada perayaan festival musim gugur tadi.

Beberapa legenda mengemukakan bahwa kue bulan berasal dari Dinasti Ming, yang dikaitkan dengan pemberontakan heroik Zhu Yuanzhang memimpin para petani Han melawan pemerintah Mongol. Namun sebenarnya, kue bulan telah ada tercatat dalam sejarah paling awal pada zaman Dinasti Song. Dari sini, kue bulan dipastikan telah populer dan eksis jauh sebelum Dinasti Ming berdiri. (Liela)

Sumber dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kue_Bulan Selengkapnya...

Budaya teh Tionghoa



Budaya teh Tionghoa

Minum teh telah menjadi semacam ritual di kalangan masyarakat Tionghoa. Di Cina, budaya minum teh dikenal sejak 3.000 tahun sebelum Masehi (SM), yaitu pada zaman Kaisar Shen Nung berkuasa. Bahkan, berlanjut di Jepang sejak masa Kamakaru (1192 – 1333) oleh pengikut Zen.


Tujuan minum teh, agar mereka mendapatkan kesegaran tubuh selama meditasi yang bisa memakan waktu berjam-jam. Pada akhirnya, tradisi minum teh menjadi bagian dari upacara ritual Zen.

Selama abad ke-15 hal itu menjadi acara tetap berkumpul di lingkungan khusus untuk mendiskusikan berbagai hal.

Meski saat itu belum bisa dibuktikan khasiat teh secara ilmiah, namun masyarakat Tionghoa sudah meyakini teh dapat menetralisasi kadar lemak dalam darah, setelah mereka mengonsumsi makanan yang mengandung lemak.

Mereka juga percaya, minum teh dapat melancarkan buang air seni, menghambat diare, dan sederet kegunaan lainnya. (Liela)

Sumber dari http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_teh_Tionghoa Selengkapnya...

Template by:
Free Blog Templates